Banjarmasin, NFHH,
Aspihani Ideris, pengacara dari terdakwa, dengan tegas mengkritik keputusan ini dan menilai bahwa jaksa penuntut umum (JPU) serta dewan hakim telah mengabaikan kebenaran yang sebenarnya.
Dalam keterangan persnya di depan ruang sidang pada Rabu (22/05/2024), Aspihani didampingi rekannya Syahruji mengungkapkan rasa kecewanya terhadap sikap penegak hukum.
“Sebelumnya kami sudah eksepsi, namun di tolak dan pledoi pun sepertinya diindahkan oleh mereka. Mau banding tanggung kasian klien kami sudah menjalani 5 bulan penjara. Saya sangat sedih melihat sikap JPU dan Dewan Hakim yang mengadili perkara ini. Mereka mengkategorikan ini sebagai perkara 170 KUHP Primer dan 351 KUHP Subsider Jo 55, 56 KUHP, dengan mengabaikan Pasal 49 KUHP,” ujar Aspihani.
Menurut Aspihani, keputusan ini mencerminkan bahwa hukum tidak lagi menjadi panglima yang menegakkan keadilan dan mengungkapkan kebenaran.
“Hukum seharusnya menjadi landasan dan pijakan bagi kita dalam hidup bermasyarakat. Tanpa hukum dan aturan, yang lemah akan ditindas dan yang kuat akan berlaku zalim sesuka hatinya,” katanya.
Ia menambahkan bahwa prinsip keadilan harus dijunjung tinggi oleh semua penegak hukum untuk mencegah terjadinya kezaliman.
Dalam kasus ini, Aspihani menyoroti keraguan terhadap atas penyampaian saksi di muka persidangan dari kesaksian yang diajukan oleh JPU.
“Faktanya, pertanyaan yang kami ajukan ke pihak saksi semuanya dijawab dengan tidak tegas alias ragu-ragu,” ungkap Aspihani.
Kesaksian yang meragukan ini termasuk ketidaktahuan para saksi mengenai detail-detail penting, seperti waktu terjadinya perkelahian banyak saksi yang salah menyebutkan hari, tanggal dan jamnya; warna pakaian yang dikenakan terdakwa pada saat kejadian juga tidak ada yang benar menyampaikan.
“Beberapa saksi mengatakan klien kami memakai baju warna kuning, ada yang mengatakan merah dan hijau, padahal sebenarnya klien kami memakai kaos berwarna hitam,” jelasnya.
Lebih jauh, Aspihani menyatakan bahwa ada indikasi kesaksian palsu masuk kedalam dunia persidangan di Pengadilan Negeri Banjarmasin.
“Kami mengingatkan tentang Pasal 242 (1) KUHP mengenai kesaksian palsu yang bisa dipidana penjara paling lama sembilan tahun, tetapi ketua majelis saat itu malah meralatnya. Ada apa ini?” tanyanya.
Ia pun berkeyakinan, bahwa kliennya tidak bisa dipidana karena hanya melerai perkelahian, bukan pelaku perkelahian, sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Aspihani juga menyampaikan pesan penting kepada seluruh masyarakat, terutama di Banjarmasin jangan sampai berani melerai orang berkelahi jika tidak ingin masuk penjara seperti halnya terjadi pada kliennya.
“Jangan sesekali berani melerai perkelahian, apalagi jika perkelahiannya menggunakan senjata tajam. Di Pengadilan Negeri Banjarmasin, Jaksa dan Hakim bersepakat bahwa orang yang melerai perkelahian dapat dipidana, padahal klien kami yang melerai malah terluka cukup parah di pelipis kirinya akibat dipukul oleh pelaku perkelahian tersebut (red pelapor/ saksi korban),” tegasnya.
Aspihani menuturkan, keputusan hakim memvonis klien dengan hukuman penjara enam bulan ini menjadi bukti nyata bahwa penerapan hukum tidak selaras dengan fakta yang sebenarnya.
“Sedih rasanya melihat penerapan hukum yang tidak benar ini. Saya berpesan khusus kepada penegak hukum yang muslim, dunia sudah mau kiamat. Sebaiknya kita ingat akan ada hari pembalasan di akhirat nanti,” tutup Aspihani dengan penuh keprihatinan.
Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi penegakan hukum di Indonesia dan mengundang perhatian berbagai pihak yang mendambakan keadilan sejati. Harapan masyarakat kini tertuju pada reformasi sistem peradilan agar hukum benar-benar menjadi pelindung yang adil bagi semua orang.
Sugianoor