AMUNTAI – News FHH,
Kabar duka datang dari ulama karismatik di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan (Kalsel) Tuan Guru Asmuni atau Abah Guru Danau tutup usia.Jumat (2/2/2024). Abah Guru wafat pukul 16.30 wita di rumahnya di Danau Panggang.
Guru Danau sendiri lahir pada tahun 50-an, dengan beberapa catatan menyebutkan tahun 1951, 1955, atau 1957. Ayahnya, Haji Masuni, berasal dari Danau Panggang, sedangkan ibunya, Hajjah Masjubah, berasal dari Marabahan dan kemudian pindah ke Danau Panggang. Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, Guru Danau tumbuh dalam lingkungan keluarga sederhana namun taat beragama.
Dinukil dari portal resmi MUI Provinsi Kalimantan Selatan, nama Danau yang disematkan ke Abah Guru Danau ini bukan hal sembarangan. “Danau” merupakan singkatan dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, yaitu Danau Panggang, Kecamatan Hulu Sungai Utara, yang terletak sekitar 24 km dari kota Amuntai.
Meski orang tuanya bekerja sebagai buruh kapal dengan pendapatan yang pas-pasan, semangat mereka untuk membiayai pendidikan Guru Danau tetap menyala. Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah Pesantren Mu’alimin Danau Panggang dan melanjutkan studi tingkat atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam Martapura.
Selama belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama berpengaruh, seperti Tuan Guru Semman Mulya, Tuan Guru Royani, dan Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai. Bahkan setelah memiliki pengajian dan pesantren sendiri, Guru Danau tetap mengikuti pengajian Guru Ijai di Martapura, baik ketika masih di Keraton (Langgar Darul Aman) maupun setelah pindah ke Sekumpul (Langgar Arraudah), hingga sang guru meninggal dunia pada tahun 2005.
Pengembaraan ilmiah Guru Danau tidak hanya terbatas di Bangil, namun juga membawanya berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa, seperti Pasuruan, Jember, Malang, Wonosobo, Purwokerto, Solo, dan Yogyakarta, menemui ulama dan habaib terkemuka di sana. Di antara ulama atau habaib yang dia temuinya KH Hamid Pasuruan, Habib Saleh al-Hamid Jember, Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang, Habib Anis al-Habsyi Solo, dan Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta. Dari mereka, Guru Danau belajar sejumlah ilmu, amalan, dan mengambil tarekat tertentu.
Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj Jamilah binti Maskur dari Bitin. Dari perkawinan tersebut, mereka dikaruniai tiga belas orang anak. Guru Danau tidak hanya mengejar ilmu agama, tetapi juga membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1980 dan mengajar di Pesantren Salatiah.
Tahun berikutnya, pada tahun 1981, dia kembali membuka pengajian di kampung halamannya, Danau Panggang. Pengajian Guru Danau tidak hanya sebatas di Bitin dan Danau Panggang. Pada dekade 1990-an, dia membuka pengajian di Mabu’un Tanjung, Kabupaten Tabalong. Awalnya, Mabu’un merupakan tempat yang dipenuhi oleh pelacuran dan perjudian. Guru Danau berhasil mengubahnya dengan membuka pengajian, yang sekarang dihadiri oleh puluhan ribu jamaah.
Meski memiliki tiga pengajian besar dan membina empat pesantren, Guru Danau juga aktif bekerja dan berbisnis. Sejak muda, dia sudah terlibat dalam berbagai usaha seperti bertani, berdagang, dan bisnis lainnya. Salah satu usaha yang sukses adalah bisnis sarang burung walet di daerah Tanjung, yang memberikannya keuntungan milyaran rupiah. Guru Danau juga memiliki tanah sebagai investasi yang bisa dijual suatu saat.
Meskipun menjadi ulama kaya dan mandiri, Guru Danau tetap mempertahankan penampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang ia peroleh dari bisnisnya tidak digunakan untuk bermegah-megah, melainkan untuk kepentingan dakwah Islam. Kemandiriannya memungkinkan dia untuk membiayai pembangunan komplek pengajian dan pesantren tanpa meminta bantuan dari pihak lain.
Abah Guru Danau, sosok ulama yang meninggalkan jejak besar dalam penyebaran ilmu dan dakwah Islam, akan dikenang oleh banyak jamaah dan peminatnya. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT.
( Hendra )